gravatar

Optimalisasi Program Penjaskes di Sekolah

Oleh AJENG KANIA

Orang baru menyadari bahwa kesehatan sangat penting manakala jatuh sakit. Oleh karena itu, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat harus menjadi tabiat sehari-hari.

Konsep kesehatan menurut WHO adalah konsep kesehatan secara paripurna meliputi urusan "sehat" secara fisik, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Sementara itu, UU Kesehatan No. 23/1992 menyebutkan, kesehatan adalah kesejahteraan dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dewasa ini, gejala hipokinetik (kurang gerak) yang menghantui anak-anak di Indonesia bakal berdampak buruk bagi kualitas kesehatan bangsa di masa depan. Gaya hidup (life style) yang cenderung menyita banyak waktu dan bersifat pasif menjadi preseden buruk terhadap kesehatan anak. Seperti, anak-anak makin asyik bermain game komputer atau PlayStation dan relatif statis diam berjam-jam. Begitupun fenomena remaja duduk mengutak-atik telefon seluler menjadi hal lumrah dijumpai. Padahal, anak mestinya pada usia muda seperti itu harus mengeksplorasi lingkungan sesuai fitrah mereka untuk bermain dan bergerak.

Peningkatan ekonomi pada keluarga membawa dampak lebih suka makanan berkalori dan lemak tinggi, tetapi rendah serat, seperti beberapa makanan fast food. Celakanya, makanan yang komposisi gizinya tidak seimbang dan berasimilasi dengan hipokinetik akan berefek negatif menimbulkan kegemukan (obesitas). Obesitas menurut Susi Purwati, dkk. (2001: 24) dalam buku Perencanaan Menu untuk Penderita Kegemukan bukan saja memengaruhi penampilan atau fisik seseorang, namun berpotensi memicu bahaya laten bagi kesehatan, yaitu munculnya beberapa penyakit degeneratif, seperti hipertensi, jantung koroner, kencing manis, kanker, artritis dan gout, hiperkoleterolemia dan hipertrigliseridemia, serta batu empedu.

Pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (penjaskes) di sekolah yang erat kaitannya dengan seputar kesehatan jasmani kalah populer dibanding bidang eksakta dan sosial yang lebih menjanjikan masa depan. Stigma negatif bidang penjaskes dipicu oleh kurang keseriusan siswa mengikuti pembelajaran, rendahnya mutu hasil pembelajaran, serta profil tenaga pengajar belum memadai.

Pada beberapa sekolah, terutama sekolah dasar, masih kesulitan mendapatkan guru penjaskes sesuai kualifikasi dan kompetensinya. Akibatnya, pembelajaran penjaskes seringkali dilaksanakan seadanya dan monoton, cukup dengan sebuah bola sepak atau bola voli untuk menghabiskan alokasi waktu yang disediakan.

Optimalisasi program penjaskes di sekolah harus dilakukan dengan sepenuh hati sehingga mata pelajaran ini dapat menjadi bidang studi "elite dan disegani". Pada teori kecerdasan berganda (multiple intelligence), Gadner menempatkan pelajaran penjaskes sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan kinestetik (aktivitas gerak tubuh). Mengenai sumbangan bidang penjaskes, Gabbar et. al dalam U.Z. Mikdar, 2001) menyebutkan bahwa kontribusi aktivitas jasmani dalam perkembangan anak, yakni domain kognitif (memberi kemampuan dan penguatan akademik) psikomotor (memengaruhi pertumbuhan biologis, kebugaran jasmani, skill, kesehatan, efisiensi gerak); dan efektif (pembentukan konsep diri, sosialisasi, sikap).

Sementara itu, paradigma promotif (kampanye kesehatan) dan preventif (pencegahan penyakit) harus lebih disosialkan karena memerlukan biaya cukup murah dan terbukti mujarab daripada paradigma kuratif (pengobatan) yang selama ini melekat pada bidang kesehatan dengan menyedot dana cukup besar.***

Penulis, mantan guru penjaskes, kini guru kelas di SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru Bandung.