gravatar

Optimalisasi Program Penjaskes di Sekolah

Oleh AJENG KANIA

Orang baru menyadari bahwa kesehatan sangat penting manakala jatuh sakit. Oleh karena itu, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat harus menjadi tabiat sehari-hari.

Konsep kesehatan menurut WHO adalah konsep kesehatan secara paripurna meliputi urusan "sehat" secara fisik, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Sementara itu, UU Kesehatan No. 23/1992 menyebutkan, kesehatan adalah kesejahteraan dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dewasa ini, gejala hipokinetik (kurang gerak) yang menghantui anak-anak di Indonesia bakal berdampak buruk bagi kualitas kesehatan bangsa di masa depan. Gaya hidup (life style) yang cenderung menyita banyak waktu dan bersifat pasif menjadi preseden buruk terhadap kesehatan anak. Seperti, anak-anak makin asyik bermain game komputer atau PlayStation dan relatif statis diam berjam-jam. Begitupun fenomena remaja duduk mengutak-atik telefon seluler menjadi hal lumrah dijumpai. Padahal, anak mestinya pada usia muda seperti itu harus mengeksplorasi lingkungan sesuai fitrah mereka untuk bermain dan bergerak.

Peningkatan ekonomi pada keluarga membawa dampak lebih suka makanan berkalori dan lemak tinggi, tetapi rendah serat, seperti beberapa makanan fast food. Celakanya, makanan yang komposisi gizinya tidak seimbang dan berasimilasi dengan hipokinetik akan berefek negatif menimbulkan kegemukan (obesitas). Obesitas menurut Susi Purwati, dkk. (2001: 24) dalam buku Perencanaan Menu untuk Penderita Kegemukan bukan saja memengaruhi penampilan atau fisik seseorang, namun berpotensi memicu bahaya laten bagi kesehatan, yaitu munculnya beberapa penyakit degeneratif, seperti hipertensi, jantung koroner, kencing manis, kanker, artritis dan gout, hiperkoleterolemia dan hipertrigliseridemia, serta batu empedu.

Pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (penjaskes) di sekolah yang erat kaitannya dengan seputar kesehatan jasmani kalah populer dibanding bidang eksakta dan sosial yang lebih menjanjikan masa depan. Stigma negatif bidang penjaskes dipicu oleh kurang keseriusan siswa mengikuti pembelajaran, rendahnya mutu hasil pembelajaran, serta profil tenaga pengajar belum memadai.

Pada beberapa sekolah, terutama sekolah dasar, masih kesulitan mendapatkan guru penjaskes sesuai kualifikasi dan kompetensinya. Akibatnya, pembelajaran penjaskes seringkali dilaksanakan seadanya dan monoton, cukup dengan sebuah bola sepak atau bola voli untuk menghabiskan alokasi waktu yang disediakan.

Optimalisasi program penjaskes di sekolah harus dilakukan dengan sepenuh hati sehingga mata pelajaran ini dapat menjadi bidang studi "elite dan disegani". Pada teori kecerdasan berganda (multiple intelligence), Gadner menempatkan pelajaran penjaskes sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan kinestetik (aktivitas gerak tubuh). Mengenai sumbangan bidang penjaskes, Gabbar et. al dalam U.Z. Mikdar, 2001) menyebutkan bahwa kontribusi aktivitas jasmani dalam perkembangan anak, yakni domain kognitif (memberi kemampuan dan penguatan akademik) psikomotor (memengaruhi pertumbuhan biologis, kebugaran jasmani, skill, kesehatan, efisiensi gerak); dan efektif (pembentukan konsep diri, sosialisasi, sikap).

Sementara itu, paradigma promotif (kampanye kesehatan) dan preventif (pencegahan penyakit) harus lebih disosialkan karena memerlukan biaya cukup murah dan terbukti mujarab daripada paradigma kuratif (pengobatan) yang selama ini melekat pada bidang kesehatan dengan menyedot dana cukup besar.***

Penulis, mantan guru penjaskes, kini guru kelas di SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru Bandung.

gravatar

Menciptakan Lingkungan Belajar yang Kondusif

Oleh Rany Oktaviani, S.Pd.

"REMEMBER, Your room arrangement reflects your philosophy of teaching and learning as well as how much you enjoy your career as a teacher. In fact, it says a lot about you to anyone who visits your classroom." (A. Lourdusamy).

Mayoritas dari kita telah menghabiskan waktu (minimal 12 tahun) duduk di dalam kelas dan mendengarkan guru, baik belajar individual maupun kelompok. Umumnya, ruang kelas adalah tempat berinteraksinya antara guru dan murid dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang bertujuan untuk membangun pengetahuan menjadi lebih bermakna.

Kegiatan belajar yang bermakna ditunjang oleh beberapa faktor, salah satunya lingkungan dan kondisi psikologi siswa. Selain itu, ada faktor lain yang harus diperhatikan, yaitu pengaturan kelas yang bernilai estetika dan kesesuaiannya dengan aktivitas mata pelajaran. Menghabiskan sebagian besar waktu di kelas merupakan salah satu alasan yang sangat menunjang untuk mengatur kelas, termasuk di antaranya posisi tempat duduk, papan tulis, dan peralatan lainnya, sehingga siswa mudah mengaksesnya.

Penempatan papan tulis, peralatan dan media pembelajaran tersebut harus ditempatkan secara strategis. Penempatan yang salah dapat membahayakan siswa ketika menggunakannya dan dapat menghambat pembelajaran. Selain itu, yang mesti diperhitungkan juga adalah bagaimana mendistribusikan dan mengumpulkan media pembelajaran untuk memperlancar KBM, dalam hal ini instruksi yang jelas dapat memaksimalkan pembelajaran.

Pengaturan ruang kelas dan peralatannya secara berkala sangat menunjang keefektifan pembelajaran. Keefektifan pembelajaran sangat ditunjang oleh interaksi siswa dengan guru dan pengaturan kelas berdasarkan Physical Environment dan Psycho-social Environment. Physical Environment adalah seluruh bagian fisik ruang kelas yang meliputi pencahayaan, luas ruangan, dan furniture (mebel) yang memberikan kenyamanan dalam pembelajaran.

Dalam mengatur ruang kelas, yang harus diperhatikan antara lain:

1. Pengaturan ruang kelas harus sesuai dengan kegiatan dan tujuan pembelajaran.
2. Ruang kelas yang luas dengan mobilitas siswa yang tinggi memerlukan mebel yang mudah diatur dan dipindahkan.
3. Pastikan siswa terkontrol aktivitas geraknya oleh guru.
4. Buatlah semua peralatan atau media pembelajaran mudah untuk diakses.
5. Pastikan siswa dapat melihat instruksi dan presentasi dengan jelas.
6. Buatlah ruang kelas menjadi nyaman dan menyenangkan tanpa meninggalkan nilai estetika, agar siswa dapat belajar dengan baik.

Khusus untuk sekolah dasar, kita dapat menambahkan sentuhan akhir dengan menambahkan tanaman atau aquarium, sehingga anak mau belajar bertanggung jawab untuk memelihara dan mengurusnya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan Psycho-social Environment adalah situasi yang diciptakan agar siswa memiliki rasa aman, senang, dan nyaman berinteraksi sosial di dalam kelas. Menciptakan suasana kelas yang demokrasi dan cooperative, dapat mendorong perkembangan kognitif siswa di kelas.

Gambaran yang baik mengenai Psycho-social di dalam kelas, antara lain:

1. Perasaan aman dari ancaman dan perlakuan kasar.
2. Memiliki lingkungan interaksi yang bersahabat.
3. Siswa merasa senang menjadi bagian dari kelas.
4. Menunjukkan kebebasan berekspresi.
5. Menstimulasi anak dalam menciptakan lingkungan belajar.
6 Menciptakan lingkungan pembelajaran yang bekerja sama.

Tidak mudah menciptakan lingkungan kelas yang ideal, tetapi tidak salah jika kita mulai mengatur Physic Environment dan Psycho-social untuk menciptakan lingkungan belajar yang dapat menstimulasi keingintahuan siswa dalam belajar. Bagaimanapun menuntut ilmu adalah kewajiban setiap umat-Nya, sebagaimana tersirat dalam Q.S. Al-Baqarah 164, yang menerangkan bahwa banyak hal di dunia ini yang perlu dipahami, dipelajari, dan diamalkan sebagai bukti kebesaran Allah SWT.***

Penulis, guru geografi dan ekonomi Darul Hikam International School Bandung.

gravatar

Evaluasi Berbasis KD Menuju Sukses UN

Oleh Ujang Wihatma, M.Pd.

SALAH satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) guru adalah melaksanakan penilaian atau evaluasi. Dalam ilmu standardisasi tes prestasi, kita mengenal pengertian itu bahwa penilaian atau evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses sistemik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program.

SEIRING dengan perkembangan kurikulum saat ini, yaitu dari Kurikulum Tahun 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi/Kurikulum 2004, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat perubahan mendasar dari cara guru melaksanakan tupoksinya (baca dalam penilaian), yaitu penilaian berbasis bahan ajar (evaluasi dilakukan setelah seperangkat bahan ajar selesai diajarkan) ke penilaian berbasis kompetensi dasar (evaluasi dilakukan setelah satu KD selesai diajarkan). Itulah sebabnya pendekatan penilaian itu menggunakan pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Hal ini pun diperkuat lagi secara tersurat dengan lahirnya standar penilaian pendidikan (Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 Tanggal 11 Juni 2007).

Selanjutnya bagaimana seorang guru melaksanakan evaluasi hariannya dengan berbasis kompetensi dasar (KD)? Langkah pertama adalah para guru seyogianya menganalisis KD di setiap mata pelajaran. Ini akan berguna untuk merencanakan penilaian selanjutnya. Hasil analisisnya akan tertuang dalam pemetaan KD. Ia akan dikaitkan dengan aspek-aspek yang harus dinilai. Dari kegiatan pemetaan KD akan melahirkan item-item soal evaluasi (dalam evaluasi harian berbasis KD seyogianya soal berbentuk uraian, bukan multiple choice). Kedua, melaksanakan penilaian itu setelah satu KD selesai diajarkan. Dalam konteks ini, tetapkan aturan penilaian yang berorientasi pada penilaian acuan patokan (PAP). Ketiga, koreksilah hasil pekerjaan siswa setelah evaluasi dilaksanakan. Hasil koreksi ini akan membagi siswa ke dalam dua kelompok besar yaitu kelompok siswa yang tuntas (nilai di atas kriteria ketuntasan minimal atau KKM), dan kelompok siswa yang belum tuntas (nilai kurang dari KKM).

Setelah diperoleh informasi siswa mana yang tuntas dan mana yang tidak/belum tuntas, kegiatan selanjutnya adalah remedial. Remedial ini bisa dikelompokkan menjadi tes remedial (bagi para siswa yang belum tuntas karena kecerobohan dalam mengerjakan/menjawab soal), dan remedial teaching (bagi para siswa yang belum tuntas karena tidak bisa menyelesaikan/mengerjakan soal akibat belum/tidak tahu/tidak bisa). Setelah selesai mengerjakan remedial teaching (baik kelompok atau individu), dilakukan tes kembali dengan soal yang relatif sama atau sama dengan soal-soal pada tes semula. Aktivitas remedial harus memerhatikan kuantitas serta kualitasnya, paling tidak tentang beberapa aturan pokok yaitu remedial hanya dilakukan maksimal 2-3 kali dan para siswa yang meraih ketuntasan pascakegiatan remedial mendapat nilai sama dengan KKM yang ditetapkan.

Terdapat satu kesalahan yang sering dilakukan guru yaitu lupa mengadministrasikan kegiatan remedial dan pengayaan serta melaksanakan kegiatan remedial tidak sungguh-sungguh. Dalam kegiatan remedial, minimal guru mengadministrasikan hal-hal seperti siapa yang diremedial, kapan dilaksanakan, berapa nilai yang diraih siswa setelah remedial. Bila tidak, akan sangat kesulitan bila hal itu diperlukan untuk memenuhi tuntutan administrasi, dan nilai yang diperoleh siswa tidak mencerminkan kemampuan yang sebenarnya. Bagaimana siswa yang sudah tiga kali diremedial, tapi belum juga tuntas atau mencapai KKM? Idealnya siswa semacam ini harus ditangani secara khusus melalui kegiatan yang berkolaborasi dengan guru bimbingan konseling (BK) dan orang tua/wali. Selanjutnya, kalau pokok penyebabnya telah ditemukan, lakukanlah kegiatan remedial dengan baik. Harus disadari betul oleh semua guru bahwa tugas profesi ini memang sangat melelahkan, tapi di situlah seni dan tantangannya.

Evaluasi berbasis KD ini akan memberi kontribusi positif pada upaya meningkatkan kelulusan siswa dalam kegiatan evaluasi yang diadakan oleh pihak luar, misalnya ujian nasional (UN). Asumsinya, jika siswa telah tuntas menguasai KD yang disyaratkan untuk satu tingkatan pendidikan, ketika di tingkat akhir ia diuji dengan ujian yang dilakukan oleh pihak di luar guru-gurunya, pasti mereka akan dapat melaluinya dengan baik dan sukses. Lalu mengapa masih ada siswa yang tidak lulus UN? Jawabannya akan sangat beragam, minimal tergantung pada dua hal pokok, yaitu kualitas pelaksanaan evaluasi harian berbasis KD dan kesiapan siswa itu sendiri. Selamat mencoba mengevaluasi siswa kita dengan berbasis KD. ***

Penulis, guru matematika SMP Negeri 2 Kota Bandung.

gravatar

"Menggunakan", bukan "Belajar" Bahasa Inggris

Oleh RIKA RACHMITA SUJATMA

DALAM pembelajaran bahasa Inggris sering kali tersirat satu masalah yang dialami dan menjadi kendala bagi hampir kebanyakan orang Indonesia, yaitu bagaimana menguasai bahasa Inggris untuk mendukung pencapaian pribadinya.

Ada satu kesalahan yang sering dilakukan untuk menguasai bahasa Inggris tersebut, yaitu kita selalu "belajar bahasa Inggris", bukan "menggunakan bahasa Inggris". Ini adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang apa yang dilakukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Inggris di SMAN 1 Subang.

Kami menyadari, dari pengalaman kami mengajar ternyata alokasi waktu yang tersedia untuk pembelajaran bahasa Inggris sangat tidak cukup, akibat beban kurikulum yang padat. Sementara, kami dituntut agar peserta didik dan lulusan dapat menguasai empat keterampilan berbahasa yaitu listening, reading, speaking, dan writing.

Dengan jumlah rata-rata 36-40 siswa di dalam satu kelas, kesempatan menguasai keterampilan itu sangat sedikit. Oleh karena itu, dari hasil pengamatan tersebut, kami menambah satu mata pelajaran lagi yang kami sebut vokasional bahasa Inggris dengan alokasi waktu 2 x 45 menit per minggu per kelas untuk seluruh tingkatan kelas.

Pelajaran vokasional bahasa Inggris ini tidak mengajarkan bahasa Inggris vokasional seperti english for tourism atau english for banking atau english for technical engineering, dll. Pelajaran vokasional bahasa Inggris ini adalah pelajaran yang melatih siswa untuk berpikir secara kritis, analitis, dan logis, namun dilaksanakan dalam bahasa Inggris. Alasannya, jika siswa belajar bahasa Inggris untuk kepentingan vokasi, kosakata, istilah, latar belakang, dan waktunya hanya terbatas pada bidang yang sedang dipelajarinya.

Misalnya, "Good morning madame, can I help you to fill this form?" atau "Have you reserved the room in advance?" dll. Namun, jika kita mengajarkan siswa berpikir kritis, analitis, dan logis, ada beberapa hal yang bisa dikuasai oleh mereka, yaitu (1) wawasan yang luas (2) Kosakata yang kaya (3) Peningkatan kemampuan empat keterampilan berbahasa yaitu listening, redaing, speaking, dan writing (4) siswa memiliki kedalaman berpikir yang tidak hanya terbatas pada penguasaan masalah besarnya, tapi mampu mengelaborasinya sampai kepada detail.

Kami menekankan kepada siswa bahwa pelajaran vokasional bahasa Inggris bukan pelajaran bahasa tapi bantuan kepada siswa untuk menunjukkan siapa dirinya melalui kemampuan mengungkapkan ide dan pendapatnya namun dilaksanakan dalam bahasa Inggris.

Kami memulai dengan menetapkan standar kompetensi, disebut SK, yaitu (1) berkomunikasi dan menginterpretasi ide dalam situasi formal dan informal/ to communicate and interpret ideas through formal and informal speaking situation (2) Berkomunikasi dan menginterpretasi ide dalam berbagai konteks/ to communicate and interpret ideas in a range of contexts dan (3) Berkomunikasi melalui ide personal dan atau berdasarkan hasil observasi/riset/ to communicate through personal and researched ideas.

Dari penetapan SK tersebut, kami lanjutkan dengan penetapan kompetensi dasar, atau disebut KD, dan ini dilakukan berjenjang dimulai dari hal yang sederhana menuju ke hal yang lebih kompleks. Misalnya untuk kelas X dimulai dengan menceritakan pengalaman yang telah dialami, menggambarkan ciri-ciri fisik teman sekelas, menceritakan tentang lagu yang pernah didengar atau cerpen/buku yang pernah dibaca. Kemudian untuk kelas XI KD yang ditetapkan adalah menceritakan peristiwa lucu yang pernah dialami, membaca puisi yang disukai, mengomentari satu surat pembaca dalam sebuah koran, dan sebagainya. Tentu semuanya dilaksanakan dalam bahasa Inggris!***

Penulis, guru bahasa Inggris di SMA Negeri 1 Subang.

gravatar

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru

Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd.

Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.

Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.

Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).

Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.

(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.

Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru. Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.

(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.

Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.

Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan pelatihan.

(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.

(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).

(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.

Penulis, guru SMP Negeri 3 Kota Bogor, pemenang II lomba penulisan yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.

gravatar

Meningkatkan Profesionalisme Guru Melalui KKG

Oleh Wawan Sopyan

Apalah artinya kata profesional jika tidak diimbangi dengan sikap dan perbuatan...! Kata "profesional" mengandung arti sebuah "keahlian" dan "kepakaran"

Keahlian seseorang dapat dinilai berdasarkan asas kepatutan dan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketika kaidah, aturan, dan tuntutan diberlakukan pada sebuah tatanan profesi, khususnya dunia pendidikan, maka yang menjadi tujuannya adalah guru.

UU RI Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan profesional adalah, "pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi".

Sebuah pernyataan yang mencengangkan dikemukakan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro (Mulyasa, 2006:3) bahwa, "Hanya 43% guru yang memenuhi syarat." Artinya, 57% tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional. Menyadari hal tersebut, sikap profesional serta kemampuan guru SD sebagai tenaga pendidik, pengajar, sekaligus sebagai tenaga administrasi perlu terus ditingkatkan profesionalismenya.

Ada pertanyaan yang selalu dilontarkan berkenaan dengan kata "profesional". Betulkah sebagian besar guru SD belum profesional? Bagaimana caranya untuk meningkatkan profesionalisme guru SD? Dua pertanyaan di antaranya yang selalu penulis temukan dari beberapa orang guru, bahkan masyarakat pemerhati pendidikan.

Sebenarnya proses yang memerlukan usaha yang sungguh-sungguh adalah yang berkenaan dengan pertanyaan tentang, "Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru SD? Berdasarkan Keputusan Mendikbud RI No 0487 Tahun 1982 tentang Sekolah Dasar, dan Keputusan Dirjen Dikdasmen No. 079/C/Kep./I/1993, tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Pembinaan Profesional Guru melalui pembentukan gugus sekolah di sekolah dasar, maka telah jelas bahwa, salah satu wadah atau tempat yang dapat digunakan untuk membina dan meningkatkan profesional guru sekolah dasar di antaranya melalui kelompok kerja guru (KKG), selain peningkatan profesional melalui jenjang akademik berupa sekolah atau pendidikan formal.

KKG sebagai kelompok kerja seluruh guru dalam satu gugus, pada tahap pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam kelompok kerja guru yang lebih kecil, yaitu kelompok kerja guru berdasarkan jenjang kelas, dan kelompok kerja guru berdasarkan atas mata pelajaran. Untuk itu KKG memiliki tujuan, (1) memfasilitasi kegiatan yang dilakukan di pusat kegiatan guru berdasarkan masalah dan kesulitan yang dihadapi guru, (2) memberikan bantuan profesional kepada para guru kelas dan mata pelajaran di sekolah, (3) meningkatkan pemahaman, keilmuan, keterampilan serta pengembangan sikap profesional berdasarkan kekeluargaan dan saling mengisi (sharing), (4) meningkatkan pengelolaan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan (Pakem).

Melalui KKG dapat dikembangkan beberapa kemampuan dan keterampilan mengajar, seperti yang di ungkapkan Turney (Abin, 2006), bahwa keterampilan mengajar guru sangat memengaruhi terhadap kualitas pembelajaran di antaranya; keterampilan bertanya, keterampilan memberi penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil dan perorangan.

Berdasarkan tujuan dan sasarannya, KKG akan mampu memberikan solusi, dan sebagai sarana meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru SD sesuai harapan dan tuntutan. Semoga!

Penulis, guru SD di UPTD Pendas Kec. Cikajang Kab. Garut, pemenang III lomba penulisan yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis PGRI Jabar 2007/2008.

gravatar

Profesionalisme Guru Menuju Sertifikasi

Oleh Ade Sofyandi, S.Pd.

SALAH satu alternatif yang paling strategis dalam memecahkan masalah pendidikan bangsa adalah membangun landasan pendidikan yang kokoh dan terkontrol, yaitu pembangunan profesionalisme pendidik (Suherdi, 2007).

Pembangunan profesionalisme pendidik telah menjadi perhatian pemerintah, di antaranya dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional.

Salah satu syarat guru sebagai pendidik profesional adalah memiliki kualifikasi akademik dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal tersebut erat kaitannya dengan sertifikasi guru sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru dan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Untuk mencapai kualifikasi akademik yang dipersyaratkan di dalam sertifikasi, para guru termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di sela-sela kesibukannya mengajar meskipun dengan biaya sendiri.

Ketika keran sertifikasi guru dibuka, mulailah para guru mengumpulkan dan melengkapi beberapa persyaratan administratif untuk portofolio. Sambil menyusun portofolio, dalam benak terbayang, gaji yang sangat besar dan pemanfaatannya sudah terperinci. Bahkan, ada salah seorang guru akan membuat "kamar khusus" dan brankas untuk menyimpan gaji dari sertifikasi guru yang tidak akan diganggu dalam beberapa tahun sebagai dana abadi. Itulah kira-kira yang dilakukan para guru ketika sertifikasi guru dibuka.

Pada saat pengumpulan bukti fisik, kendala mulai terasa karena tidak semua kegiatan memiliki surat keterangan atau piagam dan tanda penghargaan. Selain itu, dokumen yang sudah ada pun tidak lengkap karena kurang baik dalam hal pendokumentasian dan kearsipan sehingga ketika harus melengkapi persyaratan menjadi kelabakan. Akhirnya surat-surat keterangan "serbadadakan".

Kendala yang paling besar yaitu karya tulis ilmiah. Kemampuan untuk pengembangan profesi seperti pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya menjadi hambatan terbesar dan merupakan masalah tersendiri. Hal tersebut dialami juga pada sistem penetapan angka kredit. Salah satu buktinya adalah menumpuknya golongan IV/a yang akan naik ke IV/b.

Meskipun ada berbagai kendala, tetapi portofolio berhasil dikumpulkan. Hasilnya pun seperti telah diperkirakan sebelumnya, ternyata yang lolos sertifikasi tidak terlalu banyak. Yang lolos tersebut tentunya adalah guru-guru yang memiliki produktivitas serta profesionalisme yang tinggi sehingga bagi mereka tidak akan sulit untuk memperoleh skor minimal 850, bahkan lebih.

Tentunya para guru yang lolos sertifikasi tersebut tidak lepas dari jasa-jasa dan perjuangan para guru yang sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan kebetulan belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, diharapkan ada kebijakan lain, tetapi tetap menunjung aspek profesionalisme.

Sementara bagi guru-guru yang masih relatif muda, didorong untuk dapat mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, perlu diberi kesempatan yang sama kepada setiap guru untuk mengembangkan karier dan keahliannya.

Dengan demikian, sertifikasi profesi guru bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil diraih, tetapi sesuatu yang mesti diraih. Sertifikasi adalah bukan hak yang mesti setiap orang dapat menerima dan meraihnya, tetapi merupakan penghargaan bagi para guru yang telah mengabdi bagi dunia pendidikan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang profesional.***

Penulis, guru SDN Karamatwangi II, Kec. Cisurupan Kabupaten Garut, pemenang IV lomba menulis yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.

gravatar

Profesionalisme Guru, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh Dra. WAHYULI, M.Pd.


BELAJAR akan lebih bermakna dan tersimpan lama dalam ingatan kalau semua yang dipelajari segera dipraktikkan.


Ada sepenggal makna cerita yang saya kutip ketika mengikuti workshop pendidikan setahun yang lalu. Cerita ini berawal dari didikan seorang guru yang berwirausaha buku-buku dan alat-alat pelajaran yang dipaksakan kepada peserta didiknya demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena guru yang mengajarinya, peserta didik meniru dan mempraktikkan apa yang dilakukan gurunya di sekolah. Alhasil, peserta didik ini menjadi oknum yang terbiasa keluar-masuk penjara karena berwirausaha barang-barang terlarang demi memenuhi keperluan sekolah yang semakin mahal. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah?


Cerita ini bisa menjadi cermin dan gambaran kalau pendidikan ini belum berhasil. Masalah pendidikan harus ditunjang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti sarana gedung, buku-buku yang berkualitas, guru pengajar, dan tenaga kependidikan yang profesional. Kalau buku yang berkualitas mahal harganya dan menciptakan tambahan tenaga kependidikan yang profesional memerlukan biaya yang tidak sedikit, apakah cukup peningkatan kualitas pendidikan hanya dengan sarana gedung yang bagus? Sarana gedung pun sudah pasti membutuhkan biaya yang juga tidak kalah sedikit. Lantas apa yang mesti didahulukan? Titik akhirnya hanyalah pada masalah, uang.


Cerita di atas pun pokok permasalahannya juga uang. Karena uang kemudian menghalalkan segala cara. Wajar kalau pendidikan di Indonesia tertinggal, jauh dari harapan dan kebutuhan. Padahal, pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Uang pun bukan menjadi masalah yang utama.


Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk menghasilkan masyarakat yang cerdas? Jawabannya sederhana, ini tak lepas dari kualitas guru.


Saat ini kita sudah memiliki banyak guru, bahkan banyak guru lulusan lembaga pendidikan yang belum mendapat pekerjaan, dan tidak sedikit guru yang diperbantukan belum mendapat pengangkatan pegawai. Nah, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, perlu dilakukan uji kompetensi guru. Hal ini akan terealisasi dengan baik kalau para petugas yang diamanatkannya mendapat pendidikan yang baik.


Melalui uji kompetensi, diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, profesional, dan menyenangkan sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya. Dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).


Kalau uji kompetensi ini digunakan secara profesional dalam penerimaan guru baru, akan sangat membantu meningkatkan kualitas pendidikan karena akan terjaring guru-guru yang kompeten dan siap melaksanakan tugasnya secara kreatif, profesional, dan menyenangkan.***


Penulis, pengajar SMA Negeri 1 Kota Bogor bidang studi fisika, pemenang V lomba menulis yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis (AGP) PGRI Provinsi Jawa Barat 2007/2008.

gravatar

Profesionalisme Guru, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh Dra. WAHYULI, M.Pd.

BELAJAR akan lebih bermakna dan tersimpan lama dalam ingatan kalau semua yang dipelajari segera dipraktikkan.

Ada sepenggal makna cerita yang saya kutip ketika mengikuti workshop pendidikan setahun yang lalu. Cerita ini berawal dari didikan seorang guru yang berwirausaha buku-buku dan alat-alat pelajaran yang dipaksakan kepada peserta didiknya demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena guru yang mengajarinya, peserta didik meniru dan mempraktikkan apa yang dilakukan gurunya di sekolah. Alhasil, peserta didik ini menjadi oknum yang terbiasa keluar-masuk penjara karena berwirausaha barang-barang terlarang demi memenuhi keperluan sekolah yang semakin mahal. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah?

Cerita ini bisa menjadi cermin dan gambaran kalau pendidikan ini belum berhasil. Masalah pendidikan harus ditunjang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti sarana gedung, buku-buku yang berkualitas, guru pengajar, dan tenaga kependidikan yang profesional. Kalau buku yang berkualitas mahal harganya dan menciptakan tambahan tenaga kependidikan yang profesional memerlukan biaya yang tidak sedikit, apakah cukup peningkatan kualitas pendidikan hanya dengan sarana gedung yang bagus? Sarana gedung pun sudah pasti membutuhkan biaya yang juga tidak kalah sedikit. Lantas apa yang mesti didahulukan? Titik akhirnya hanyalah pada masalah, uang.

Cerita di atas pun pokok permasalahannya juga uang. Karena uang kemudian menghalalkan segala cara. Wajar kalau pendidikan di Indonesia tertinggal, jauh dari harapan dan kebutuhan. Padahal, pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Uang pun bukan menjadi masalah yang utama.

Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk menghasilkan masyarakat yang cerdas? Jawabannya sederhana, ini tak lepas dari kualitas guru.

Saat ini kita sudah memiliki banyak guru, bahkan banyak guru lulusan lembaga pendidikan yang belum mendapat pekerjaan, dan tidak sedikit guru yang diperbantukan belum mendapat pengangkatan pegawai. Nah, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, perlu dilakukan uji kompetensi guru. Hal ini akan terealisasi dengan baik kalau para petugas yang diamanatkannya mendapat pendidikan yang baik.

Melalui uji kompetensi, diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, profesional, dan menyenangkan sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya. Dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Kalau uji kompetensi ini digunakan secara profesional dalam penerimaan guru baru, akan sangat membantu meningkatkan kualitas pendidikan karena akan terjaring guru-guru yang kompeten dan siap melaksanakan tugasnya secara kreatif, profesional, dan menyenangkan.***

Penulis, pengajar SMA Negeri 1 Kota Bogor bidang studi fisika, pemenang V lomba menulis yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis (AGP) PGRI Provinsi Jawa Barat 2007/2008.

gravatar

Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah

Oleh RANI DAMAYANTI, S.Pd.

Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasulullah, bangsa Arab merupakan bangsa jahiliyah (bodoh). Pendidikan yang diajarkan Rasul kemudian menjadikan mereka sebagai bangsa yang menakjubkan.

Pada fase jahiliyah, bangsa Arab memang kehilangan nilai-nilai istimewa yang lekat dengan tradisi mereka dan merupakan poin unggulan. Akan tetapi, siapa sangka, berkat tarbiyah yang dilakukan Muhammad saw., bangsa yang tinggal di padang pasir nan terbelakang ini kemudian mampu keluar sebagai bangsa dengan peradaban besar. Dengan cepat, bangsa Arab tumbuh menjadi imperium yang luar biasa dimulai dari Asia Barat ke seluruh daerah Lautan Tengah, sampai Persia, Mesir, Afrika, bahkan daratan Eropa.

Bangsa Eropa juga tercatat dalam sejarah pernah mengalami satu fase yang disebut dengan dark age atau zaman kegelapan. Orang Eropa dari akhir abad ke-15 sampai akhir abad ke-18, menganggap abad pertengahan sebagai zaman kegelapan. Hingga akhir abad pertengahan, pendidikan hanyalah milik sebagian orang. Sebagian besar dari golongan bangsawan dan penduduk kota tidak dapat membaca dan menulis. Pengajaran boleh dikatakan hanya diberikan di dalam sekolah biara atau sekolah gereja, terutama kepada mereka yang kelak menjadi pendeta. Pengetahuan mendapat nasib yang serupa, yaitu hanya diselenggarakan di dalam biara.

Sementara itu, bangsa Indonesia pernah terbelenggu oleh penderitaan panjang akibat penjajahan yang meniadakan identitas dirinya sebagai sebuah bangsa dengan segala kebesaran dan kehormatan. Bangsa Indonesia pernah menjadi inlander di hadapan Belanda, menjadi budak di tanah air sendiri. Kemegahan dan keagungannya sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan luhur, runtuh oleh kecong-kakan imperialisme.

Van Deventer dalam tulisannya tahun 1899 Een Eereschuld/Debt of Honour mengemukakan, Belanda harus berterima kasih kepada bangsa Indonesia karena kemakmu-ran mereka diperoleh dari jasa dan kerja keras bangsa Indonesia. Maka dari itu, lahirlah apa yang disebut dengan politik etis. Irigation, transmigration, dan education merupakan trilogi atau trias politik etis. Akan tetapi, sudah tentu pelaksanaan politik etis ini tidak lepas dari kepentingan kolonial.

Lihat saja, pendidikan yang diselenggarakan hanyalah pendidikan tingkat rendah yang bertujuan untuk keuntungan kolonial Belanda sendiri, yaitu memenuhi kebutuhan pegawai rendahan, mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang bisa membaca dengan upah rendah daripada tenaga-tenaga kulit putih. Memang dibuka pula sekolah-sekolah menengah sampai sekolah tinggi, tetapi biayanya mahal sehingga rakyat dari kalangan jelata tidak mungkin memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut. Lagi pula pembukaan sekolah-sekolah ini didasarkan pada kebutuhan pemerintah kolonial, bukan pribumi.

Sebetulnya, pemerintah kolonial Belanda juga memiliki misi khusus dengan membuka sekolah-sekolah bagi pribumi. Melalui pendidikan ini, pemerintah kolonial berharap dapat menyukseskan program westernisasi, terutama di kalangan para priayi atau keluarga bangsawan.

Dengan bahasa lain, bangsa Indonesia hendak dieropakan, atau tepatnya dibelandakan. Akan tetapi, rencana tinggal rencana. Hasilnya menunjukkan hal lain, yaitu kesempatan pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial, meskipun sedikit, mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadi titik balik kesadaran bangsa ini. Benih-benih kesadaran terhadap harga diri bangsa mulai bangkit. Pendidikan pada masa itu menjadi api bagi bangkitnya kesadaran berbangsa, dan terwujud dalam semangat perjuangan membawa Indonesia pada puncaknya, yaitu kemerdekaan.***

Penulis, pengajar di SMP Negeri 6 dan Yayasan Daarul Huda, Kota Banjar.

gravatar

Menjaring Guru Penulis Melalui AGP-PGRI Jabar

Oleh Arief Achmad

Bermula dari sarasehan yang digagas PGRI Jabar dan "Pikiran Rakyat" serta diikuti para guru yang selama ini menulis di "Forum Guru" PR, maka terbentuklah Asosiasi Guru Penulis PGRI Jabar (AGP-PGRI).

AGP-PGRI merupakan salah satu badan kelengkapan organisasi di lingkungan PGRI Provinsi Jawa Barat. H. Syafik Umar, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat, dalam pencerahannya di sarasehan tersebut mengatakan, tulisan memberi sumbangan berarti dalam membangun peradaban. Sebab melalui tulisan, seseorang bukan saja dapat memberi perubahan bagi dirinya, namun juga bagi orang lain dan masyarakat luas sehingga mereka dapat lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapinya.

Senada dengan itu, H. Sahiri Hermawan (Ketua PGRI Jabar), menegaskan bahwa guru harus terus aktif menulis. Dengan menuangkan segala ide dan kreasi mereka, berarti mereka telah membangun dan mengembangkan dunia pendidikan melalui tulisan. Menulis, selain terus membantu memupuk kreativitas, juga mendorong pengembangan diri guru, terutama untuk meningkatkan kualitas dan profesionalismenya.

"Sebagai organisasi yang mewadahi guru-guru dari berbagai jenjang pendidikan, yang bergiat dalam bidang tulis-menulis, keberadaan AGP-PGRI ini harus memberikan manfaat kepada para anggotanya," katanya.

Berbekal petuah kedua tokoh yang turut membidani asosiasi ini, AGP-PGRI dituntut untuk lebih proaktif dalam menyikapi berbagai masalah pendidikan yang saat ini sedang terjadi. Dari mapping (pemetaan) problematika guru di lapangan, antara lain ditemukan, banyak guru PNS yang menumpuk bertahun-tahun di golongan IV/a (guru pembina) karena mereka tidak sanggup mengumpulkan sedikitnya 12 angka kredit (AK) dari unsur pengembangan profesi, khususnya dalam pembuatan karya tulis ilmiah (KTI).

Sesungguhnya "PR" telah menyediakan rubrik "Forum Guru" yang dapat dimanfaatkan mereka untuk mendukung peningkatan keterampilan menulis sekaligus juga dapat diikutsertakan sebagai salah satu KTI yang bernilai 2 AK per tulisan yang telah dipublikasikan. Namun, karena umumnya para guru menulis secara otodidak, mereka mengalami hambatan secara teknis.

Terlebih lagi masih lemahnya budaya membaca di kalangan guru. Padahal, modal utama menulis adalah membaca. Tanpa membaca, jangan harap dapat menulis. Semakin banyak dan kaya bacaan seorang penulis, maka akan semakin memperkaya pula tulisan-tulisan sebagai hasil karyanya.

Atas dasar itu, AGP-PGRI menggandeng LPMP Jabar dan HU "Pikiran Rakyat" guna memberikan kiat-kiat menulis KTI dan karya ilmiah populer (KIP) bagi guru-guru TK, SD/MI, SMP/MTs., SMA/SMK/MA/MAK, dan SLB di Jawa Barat. Kegiatan yang bertajuk "Seminar dan Lokakarya Penyusunan KTI dan KIP" itu akan diselenggarakan di seluruh wilayah Jawa Barat (Priangan Barat, Priangan Timur, Cirebon, Bogor, dan Purwasuka).

Kabupaten Cianjur (wilayah Bogor) dipilih sebagai tempat pertama penyelenggaraan semiloka tersebut. Semiloka yang akan dilaksanakan Sabtu, 19 Januari 2007 itu menampilkan narasumber Drs. Tatang Sunendar, M.Si. (Widyaiswara LPMP Jabar dan anggota Tim Penilai KTI Depdiknas), Drs. H. Wakhudin, M.Pd. (Redaktur Pendidikan "PR"), serta para pengurus AGP-PGRI Jabar sebagai fasilitatornya.

Diharapkan, dengan adanya semiloka KTI dan KIP ini para guru akan mampu dan berani menuangkan gagasan mereka dalam bentuk tulisan, apakah berupa karya tulis ilmiah yang berguna sebagai prasyarat kenaikan pangkat/jabatan guru PNS dan sertifikasi guru maupun karya ilmiah populer yang dapat dikirimkan ke berbagai media massa, terutama media cetak.***

Penulis, guru SMAN 21 Bandung, Ketua Asosiasi Guru Penulis-PGRI Jabar.

gravatar

Guru Mengajar Biasa, Guru Menulis Itu Luar Biasa!

Oleh Drs. DEDI DJUNAEDI

SEANDAINYA semua orang memiliki kecerdasan yang sama dalam menulis, kesabaranlah yang akan membuat engkau berbeda (Mochammad Fauzil Adhim).

Tulisan ini diawali dengan kata penggugah dari seorang penulis berpengalaman dengan karya-karya yang paling banyak dicari, Mochammad Fauzil Adhim, sesuai dengan judul bukunya yang sangat inspiratif bagi para penulis maupun para calon penulis, Inspiring Words Writers (2005). Untaian kata-kata yang tersusun rapi pada setiap halaman buku mungil tersebut diyakini akan dapat menyihir pembacanya sehingga tergugah semangat dan hasrat menulis.

Menulis, tak terkecuali bagi seorang guru adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran. Tak ada resep yang lebih baik untuk menjadi penulis, tak ada pula orang yang terlahir dengan bakat menulis, kecuali sebuah tekad dan semangat yang kuat untuk memulainya. Kapan? Sekarang, karena tak ada hari besok jika kita tidak memulainya hari ini.

Sebagian kendala yang dialami para guru dalam menulis adalah keengganan memulainya. Oleh karena itu, gagasan sebaik apa pun sering mengalami kebuntuan saat dituangkan dalam tulisan karena sibuk memikirkan bagaimana membuat draf. Padahal, mengawali tulisan adalah gagasan cetusan yang terbaik.

Adapun guru yang beralasan takut gagal, tak ada hasrat dan inspirasi untuk menggoreskan ujung penanya atau segera merangkai kata-kata dengan menekan huruf-huruf pada papan ketik (keyboard ) komputernya. Inilah fenomena kebanyakan guru yang akhirnya mengalami kandas mewujudkan tulisannya. Sementara itu, sebagian guru yang lain pula memanfaatkan kegagalannya sebagai sebuah energi tambahan untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan.

Inspirasi menulis tak kunjung datang pun dijadikan alasan, padahal inspirasi ibarat sinar matahari. Ia tak pernah berhenti menyinari dan mengalir ke benak-benak yang siap menerima. Akan tetapi, adakalanya inspirasi itu terhalang masuk ke jiwa kita sehingga membutuhkan jendela-jendela agar sinar matahari dapat menerpa masuk.

Guru-guru di masa kini maupun masa mendatang akan terus dihadapkan kepada berbagai tuntutan dan tantangan agar lahirnya sebuah kreativitas. Kegiatan menulis bagi seorang guru adalah bagian dari sebuah kreativitas, sebuah ungkapan jujur dan objektif serta ekspresif buah pikiran secara lisan menyangkut pernak-pernik dari profesi yang dijalaninya.

Patut disyukuri bahwa pemerintah telah membuka lahan yang cukup luas bagi tumbuhnya kreativitas menulis guru-guru yang dikaitkan dengan perolehan angka kredit untuk keperluan kenaikan pangkat. Dengan demikian, setiap tetes tinta yang digoreskan guru adalah perubahan bagi sebuah peradaban karena di dalamnya terkandung maksud bahwa buah pikiran yang dilahirkan guru merupakan sebuah inovasi bagi perbaikan proses atau kegiatan pembelajaran secara berkesinambungan.

Banyak media massa yang menyediakan lahan tulisan untuk guru, seperti Forum Guru di "PR", Suara Guru di koran Galamedia, dan rubrik yang sejenis di media lain. Seperti kata penyanyi dan penulis lagu ngetop saat ini, Ahmad Dani, lagu yang disukai khalayak adalah lagu-lagu yang sederhana dan mudah dihafal.

Demikian halnya tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menyederhanakan persoalan yang rumit bukan sebaliknya, memperumit persoalan yang sederhana. Maka, saatnya guru menulis. Jika hanya mengajar, itu biasa. Menulis itu luar biasa. ***

Penulis, guru SMAN 1 Karangpawitan Garut, pengurus AGP-PGRI Jawa Barat.

gravatar

Tulisan Populer, Alternatif Karya Tulis Guru

Oleh Dewi Syafriani

Menulis bagi seorang guru menjadi satu keharusan, selain harus mengembangkan bahan ajar. Idealnya, guru pun harus membuat karya pengembangan profesi, salah satunya dalam bentuk karya tulis.

GURU, ironisnya, sampai saat ini masih banyak yang belum mencoba mengembangkan potensi dirinya dalam membuat karya tulis. Akibatnya, banyak di antara guru yang akan mengikuti kenaikan pangkat/golongan, salah satu kendalanya adalah dalam pembuatan karya tulis ilmiah. Sering kali hasil karya tulis yang sudah dibuat dikembalikan lagi karena tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Tuntutan lain yang berkaitan dengan pembuatan karya tulis adalah dalam penilaian sertifikasi guru yang sekarang mulai dilakukan. Sebagaimana diketahui, untuk dapat lulus penilaian sertifikasi, seorang guru harus mencapai nilai minimal 850 dari seluruh komponen yang ada dalam portofolio. Salah satu komponennya adalah karya pengembangan profesi dengan jumlah nilai maksimum 85 poin atau sekitar 10% dari seluruh nilai minimal yang harus dicapai.

Berdasarkan panduan penilaian portofolio, setidaknya ada beberapa jenis karya tulis yang dapat dilakukan guru, yaitu menulis buku, modul, penelitian dalam bidang karya tulis, seperti PTK (penelitian tindakan kelas), menjadi penulis soal untuk UN, dan membuat artikel yang dipublikasikan melalui koran, majalah ataupun jurnal. Pengalaman dari beberapa guru, ternyata banyak yang tidak memenuhi nilai minimal yang ditetapkan di antaranya karena tidak memiliki nilai dari komponen karya pengembangan profesi.

Sebenarnya, banyak hal yang dapat dituangkan dalam karya pengembangan profesi, misalnya dengan melaksanakan PTK. Melalui PTK, guru dapat menemukan pemecahan masalah atau inovasi dalam pembelajaran. Akan tetapi, jika melakukan PTK masih terkendala, guru dapat saja mencoba membuat buku, baik buku teks maupun buku kerja.

Jika menulis buku pun masih dirasa terlalu repot dan menyita waktu, mengapa tidak mencoba menuangkan gagasan dalam bentuk lain, yaitu tulisan populer untuk media massa, baik dalam bentuk feature, esai ataupun opini. Tentu banyak pengalaman ataupun gagasan yang dapat dikemukakan. Penulisannya pun lebih singkat, asal ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, lugas, topiknya aktual dan didukung oleh data yang akurat.

Jika sudah menjadi satu bentuk karya tulis, jangan hanya disimpan di file komputer, cobalah kirim ke media massa. Syukur jika dimuat, jika tidak, tak perlu berkecil hati, mungkin kita dapat terus mencoba. Jika dimuat di koran atau jurnal yang terakreditasi, setidaknya kita akan mendapatkan poin 10. Sungguh suatu jumlah yang baik jika dibandingkan dengan menulis PTK yang poinnya 10 dan menulis buku poinnya 30.

Jika kebiasaan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan sudah dimulai, kemampuan menulis sudah terasah, guru mudah-mudahan ke depan dapat menulis bentuk karya tulis yang lainnya seperti menulis buku, modul ataupun melaksanakan PTK. Sekarang ini di setiap kabupaten/kota sudah terbentuk forum ilmiah guru. Forum ini dapat digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan karya pengembangan profesi guru. Ada ungkapan, menulis akan menjadi bisa karena biasa. Jadi, mulailah menulis.***

Penulis, guru geografi di SMAN 1 Soreang, Kabupaten Bandung.

gravatar

Kepala Sekolah Kembali Mengajar? Biasa Tuh...!

Oleh ANA ANDRIANI, S.Pd., M.Pd.

Kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan. Tambahan tugasnya adalah sebagai pemimpin/ manajer dalam pengelolaan sekolah di mana dia ditugaskan.

tugas kepala sekolah tentu menjadi lebih berat dibanding tugas guru lainnya, tanpa bermaksud mengecilkan arti dan fungsi guru. Itulah sebabnya, menjadi kepala sekolah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk itu, menentukan kepala sekolah seyogianya dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dengan demikian diharapkan kepala sekolah mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dalam perekrutan, kepala sekolah harus memiliki pengalaman mengajar yang mencukupi. Di samping itu, banyak faktor perlu diperhitungkan sehingga kepala sekolah memiliki berbagai kompetensi. Faktor kepemimpinan (leadership) dan memiliki visi ke depan atau visioner sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kepala sekolah.

Menjadi kepala sekolah memang tidak mudah. Namun, jabatan ini menjadi obsesi sebagian guru dan termasuk posisi yang sangat populer dalam masyarakat pendidik. Selain prestige, jabatan kepala sekolah memiliki banyak nilai plus.

Pengelolaan sekolah, termasuk pengelolaan sumber daya manusia yang ada --di dalamnya siswa, guru, dan staf tata usaha-- tentu membutuhkan power serta karakter pemimpin yang ideal sehingga berdampak pada citra serta kualitas sekolah tersebut. Maka, kepala sekolah adalah pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi lingkungannya.

Fenomena yang ada menunjukkan bahwa kelanjutan karier kepala sekolah yang notabene guru, cenderung statis. Oleh karena itu, kita sering menyimak bahwa kepala sekolah menjadi jabatan abadi seseorang, kecuali setelah memasuki usia pensiun. Jabatan kepala seolah seperti tanpa batas waktu yang jelas, kecuali jika ada rotasi dari satu sekolah ke sekolah lain.

Kondisi ini menggenapkan permasalahan di dunia pendidikan. Tiadanya regenerasi serta adanya sistem senioritas yang sangat kuat menjadikan pendidikan seolah berjalan di tempat, serta memunculkan sekelompok elite tertentu.

Kedekatan dengan birokrat biasanya menjadi salah satu faktor yang menjadikan seseorang melenggang mulus menuju kursi kepala sekolah. Ini tentu sah-sah saja karena romantisme masa lalu tentang budaya nepotisme masih sangat akrab dengan kehidupan kita. Meski demikian, saat ini kita memerlukan landasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Fit and proper test merupakan salah satu cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik maupun secara prosedural. Dengan cara ini, tujuan pendidikan nasional diharapkan segera tercapai dan diperoleh the right man on the right place.

Permasalahan nyata saat ini adalah bahwa peraturan yang berkenaan dengan lamanya seseorang menjabat sebagai kepala sekolah tidak jelas. Seperti telah diungkap di atas, kecenderungan setelah bertugas menjadi kepala sekolah maka seseorang akan terus menjadi kepala sekolah sampai pensiun, atau sekadar mengalami rotasi dari sekolah satu ke sekolah yang lain. Sehingga seakan-akan mereka adalah kelompok elite yang senantiasa terus-menerus berada pada posisi tersebut.Tentu hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Jabatan kepala sekolah sebetulnya cukup satu atau dua periode. Presiden saja yang tugasnya sangat berat cukup dua periode. Selanjutnya mereka kembali menjadi guru. Pekerjaan ini jangan dianggap menurunkan derajat dan martabat. Bahkan, mengajar adalah jabatan sangat terhormat. Maka, kepala sekolah menjadi guru, biasa-biasa saja tuch...!***

Penulis, guru SMP Negeri 4 Purwakarta, pengurus AGP PGRI Jawa Barat.

gravatar

Peranan Media Dalam Kualitas Pembelajaran

Oleh NANA SURYANA, M.M.Pd.

PROSES belajar mengajar merupakan proses komunikasi, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, ataupun siswa - lingkungan. Proses komunikasi yang baik harus diciptakan oleh guru dan siswa.

Pesan atau informasi yang disampaikan oleh guru dapat berbentuk pernyataan atau mungkin disampaikan dalam bentuk: bagan, gambar, tape recorder, televisi, radio, video, slide atau alam lingkungan yang ada di sekitar sekolah. Selanjutnya siswa sebagai penerima pesan dapat menerima pesan (materi pelajaran) sesuai dengan tujuan. Tetapi pada kenyataannya siswa adalah seorang individu dengan karakteristiknya sendiri. Allah SWT menciptakan individu yang satu berbeda dengan individu lainnya. Dengan demikian, suatu hal yang wajar apabila individu mempunyai motivasi dan kemampuan yang berbeda-beda.

Guru dalam memberikan materi pelajaran belum tentu diterima sama oleh siswa, karena seorang siswa dengan siswa lainnya dalam menangkap suatu objek atau pesan berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya. Misalnya guru sebagai sumber pesan menyampaikan pesan A kepada tiga orang siswa, tetapi siswa sebagai penerima pesan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menerima pesan, sehingga jangan heran jika siswa dalam menerima pesan A, berkembang menjadi pesan A1, A2, atau bahkan mungkin menjadi A3.

Untuk menghindari hal tersebut maka pemanfaatan media pembelajaran penting sekali, sehingga dapat meningkatkan tanggapan siswa terhadap suatu pesan (materi pelajaran). Dengan demikian media pembelajaran dapat menyamakan persepsi siswa dan menarik perhatian siswa untuk belajar, bahkan media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dapat menyalurkan pesan serta dapat membantu mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi antara guru dengan siswa. Di samping itu perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya indra, atau hambatan lainnya dapat diatasi dengan pemanfaatan media pembelajaran.

Sudahkah kita sebagai pendidik profesional selalu menggunakan media dalam setiap proses pembelajaran?

Mengingat pentingnya peranan media, maka setiap guru atau pendidik profesional harus selalu menggunakan media dalam setiap proses pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang media pembelajaran serta menguasai keterampilan dalam menggunakannya. Hal tersebut tidak lain karena media dalam proses belajar mengajar merupakan bagian yang integral dalam proses interaksi antara guru dengan siswa di dalam kelas. Penggunaan media pembelajaran juga menuntut dan memerlukan kreativitas guru agar mampu mencari, membuat, menyediakan, dan menggunakannya, sehingga dapat membantu kelancaran dan keberhasilan proses pembelajaran.

Dalam memilih media untuk kepentingan proses belajar mengajar menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, guru sebaiknya memerhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Ketepatan dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

2. Dukungan terhadap materi pembelajaran.

3. Kemudahan dalam mendapatkan media tersebut.

4. Kemampuan guru dalam menggunakannya.

5. Ketersediaan waktu untuk menggunakannya.

6. Kesesuaian dengan taraf berpikir siswa.

Setelah mengetahui jenis media dengan berbagai ciri dan kemampuannya, serta prinsip-prinsip dalam memilih media, maka guru dapat menentukan media apa yang tepat untuk digunakan dalam membantu atau mempermudah tugas guru sebagai pengajar, yang akhirnya pesan (materi pengajaran) dapat disampaikan pada siswa sebagai penerima pesan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Karena itu, guru hendaknya dapat mengusahakan, menyediakan, memanfaatkan, serta meningkatkan penggunaan media pembelajaran pada setiap kegiatan belajar mengajar. Ingat!, penggunaan media tidak dilihat dari segi kecanggihannya dan tidak pula dilihat dari segi mahal atau murahnya harga media, akan tetapi yang lebih penting adalah fungsi dan peranannya dalam membantu mempertinggi kualitas proses pembelajaran.

Dengan memahami konsep-konsep metodologi, psikologi, dan media pembelajaran, maka pelaksanaan proses belajar mengajar akan lebih bervariasi, motivasi dan ketertarikan belajar siswa akan semakin tinggi, dan setiap tujuan pembelajaran akan tercapai secara efektif dan efisien, sehingga kualitas pendidikan di negeri ini akan semakin meningkat. Amin. Selamat bekerja...***

Penulis, guru SMPN 2 Tanjungsiang, Ketua MGMP Seni Budaya Kabupaten Subang.

gravatar

Program PAUD Menuju Indonesia Emas 2020

Oleh SUTARJA, S.Pd.

KEPUTUSAN Menteri Pendidikan Nasional Nomor 051/0/2001 menjelaskan bahwa pendidikan untuk anak usia di bawah enam tahun, perlu didirikan PADU (Pendidikan Anak Dini Usia), di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (Diklusepa).

Nama PADU tampaknya tidak lama bertahan, terbukti 2002 terbit Undang-Undang Nomor 20 tentang Sisdiknas yang secara khusus menampilkan nomenklatur dari PADU menjadi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Sejumlah alasan menjadi dasar pemikiran mengapa anak-anak perlu diberikan pendidikan semenjak dini. Alasan pertama, data jumlah anak Indonesia yang berusia nol sampai enam tahun sebanyak 26,45 juta baru terlayani 27,34% atau sekitar 7,16 juta anak. Pada kisaran usia empat hingga enam tahun sebanyak 12,67 juta baru terlayani sekitar 4,63 juta atau setara 36,53% pada TK dan RA (Raudhatul Atfhal).

Alasan kedua, usia anak nol hingga enam tahun merupakan masa pertumbuhan kecerdasan anak. Masa ini populer dengan nama usia emas (golden age), saat yang paling tepat untuk menggali dan memunculkan kecerdasan seorang anak. Alasan yang lain, potensi anak bangsa yang berjumlah puluhan juta di atas merupakan aset besar yang sangat perlu mendapat perhatian serius bagi pembentukan sumber daya manusia yang andal di masa depan.

Penyelenggaraan PAUD menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan fisik (motorik halus dan motorik kasar), kecerdasan meliputi cipta, rasa, dan karsa. Melalui kegiatan yang menyenangkan seperti simulasi dan bercerita, dapat ditanamkan kemampuan bermasyarakat, sosio emosional, penanaman nilai-nilai beragama, serta kemampuan berbahasa dan berkomunikasi (communication and language).

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, "Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa." UU Sisdiknas Pasal 1 butir 14 menyatakan, "Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut."

Selanjutnya pada Pasal 28 ayat satu sampai enam dinyatakan secara khusus bahwa PAUD dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Pada jalur formal, program PAUD bisa berbentuk kelompok bermain, TK/Raudathul Athfal (RA). Jalur nonformal dapat berbentuk taman penitipan anak, kelompok bermain (play group), dan dapat pula informal seperti pendidikan lingkungan keluarga, homeschooling.

Pada prinsipnya, siapa pun dapat menyelenggarakan program PAUD. Lembaga swadaya masyarakat, yayasan, perusahaan bahkan perorangan diperkenankan berkecimpung dalam program ini. Kunci utama yang diperlukan adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap permasalahan dunia pendidikan anak dengan segala potensi strategisnya.

Pada kesempatan peluncuran program PAUD tingkat Jawa Barat, Gubernur Danny Setiawan menekankan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berperan aktif pada permasalahan pendidikan anak usia dini ("PR", 12/6/2006).

Materi utama pada program pendidikan ini adalah alat bermain. Sebab, pola belajar yang ideal adalah belajar sambil bermain. Disyaratkan agar semua alat permainan yang tersedia bersifat edukatif --APE,alat permainan edukatif--meliputi APE dalam dan APE luar ruangan.

Program Nasional Indonesia Emas 2020 merupakan program jangka panjang yang sangat ditentukan oleh proses pendidikan anak-anak saat ini.

Dengan terlaksananya program PAUD secara konsisten, diharapkan potensi anak bangsa akan lebih berkualitas di kemudian hari. Pada akhirnya, cita-cita bangsa yang mandiri kelak, salah satunya didukung keberhasilan program PAUD hari ini dan selanjutnya, Insya Allah. ***

Penulis, pengelola PAUD Jatiputra Garut dan pengurus AGP PGRI Jawa Barat.

gravatar

SBI, Langkah Maju Siapkan SDM Unggul

Oleh Drs. H. Dadang Hendrana, M.M.Pd.

Kompetisi, perjuangan, inovasi, kreativitas, keunggulan, dan kompetensi adalah jargon-jargon dari manusia yang berpikiran maju dan mau berubah. Era globalisasi semakin menuntut kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing secara internasional.

Sumber daya manusia yang unggul hanya akan dihasilkan oleh pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas inilah yang harus terus-menerus diupayakan, baik oleh pemerintah maupun oleh para pelaksana pendidikan di lapangan.

Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI) untuk menjawab tuntutan dan tantangan zaman dalam menyiapkan SDM unggul dan berkualitas. Salah satunya adalah rintisan SMP bertaraf internasional yang dimulai tahun ajaran 2007/2008, yang selanjutnya disebut rintisan sekolah bertaraf internasional.

Rintisan SBI pada tingkat SMP diselenggarakan dengan beberapa alasan. (1) Sejak tahun 2004 telah ada sebanyak 1.027 SMP di seluruh Indonesia yang telah menjadi rintisan sekolah standar nasional (SSN), yaitu sekolah yang minimal telah memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) sebagaimana disebutkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 yang terdiri dari SKL (standar kompetensi lulusan), SI (standar isi), standar proses, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar pengelolaan, standar sarana, standar pembiayaan, dan standar penilaian. SMP yang ditunjuk sebagai rintisan SSN setelah lima tahun diharapkan dapat menjadi SSN mandiri atau sekolah bertaraf internasional. Dengan kata lain, SSN adalah embrio rintisan SBI di SMP.

(2) Sejak tahun 2004, terdapat beberapa SMP yang ditetapkan sebagai sekolah koalisi di setiap provinsi. Sekolah koalisi adalah SMP yang melaksanakan kerja sama dengan negara-negara ASEAN dalam berbagai bidang dan melaksanakan pembelajaran dalam bilingual (bahasa Inggris dan Indonesia) untuk mata pelajaran matematika dan IPA. Dengan demikian, sekolah koalisi ini juga merupakan embrio untuk menjadi rintisan SBI.

(3) Pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sejumlah siswa Indonesia mampu bersaing dalam lomba matematika dan sains serta bidang-bidang nonakademik tingkat internasional. Hal ini memperkuat alasan akan pentingnya peyelenggaraan rintisan SBI di SMP.

(4) Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN No. 20/2003) Pasal 50 ayat 3 yang menyebutkan bahwa, "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional".

Dengan alasan-alasan di atas, posisi keberadaan SBI merupakan hal penting pada upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yang sudah tidak dapat ditawar lagi dalam era globalisasi. Era globalisasi telah membuka peluang bagi dunia untuk membuka sekolah-sekolah internasional di mana saja termasuk di Indonesia, yang semakin banyak tumbuh tersebar di kota besar, termasuk Kota Bandung. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Bandung khususnya dalam menyediakan dan meningkatkan mutu layanan pendidikan unggul bagi masyarakat kotanya.

Bagaimana pemerintah kota/kabupaten di Jawa Barat mengimbangi pertumbuhan sekolah internasional yang didirikan negara-negara lain di Indonesia? Bagaimana kita mempertahankan karakter budaya lokal yang berwawasan global (think globally act locally) sehingga penyelenggaraan SBI menjadi tanggung jawab yang akan dipikul bersama dengan masyarakat dan stakeholders pendidikan.

Meminjam istilah Rhenald Kasali, dengan SBI kita akan melakukan learn from the future. Artinya, kita belajar menciptakan hal-hal baru dengan imajinasi (visioner). Kita tidak akan berpikir biasa, tetapi "yang memungkinkan" (the way it could be). Kurikulum yang akan diterapkan dalam SBI adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disinergikan dengan kurikulum bertaraf internasional dengan mengambil standar mutu pembelajaran seperti IBO (International Baccalaureate Organization) dan standar mutu kelembagaan ISO 9001:2000.***

Penulis, Kepala SMPN 2 Kota Bandung.

gravatar

Mengembangkan Konsep Diri dengan Kearifan Guru

Oleh Dra. Yati Rohayati

Konsep diri merupakan suatu keyakinan, kesan individu mengenai karakteristik dirinya yang mencakup karakteristik fisik, sosial, emosional, aspirasi, dan "achievement" (Elizabeth Hurlock, 1978).

Konsep diri seseorang akan tercermin dalam perilaku kesehariannya, termasuk dalam mewujudkan harapan-harapan dan cita-citanya. Dengan memiliki cita-cita akan menuntun seseorang untuk berencana, berupaya, dan berdoa agar dapat meraihnya. Namun, sering kali ditemukan para siswa yang merasa khawatir, gamang, tidak percaya diri, merasa tidak mampu, dan merasa pesimistis yang berujung pada suatu keputusan untuk tidak mau mencoba suatu peluang kesempatan. Kemudian, terucaplah kata "malas".

Hal ini berawal dari problem konsep diri yang negatif. Seseorang yang memiliki konsep diri negatif, jika meyakini dan memvonis dirinya lemah, ia tidak berdaya, tidak kompeten, tidak menarik, merasa diri bodoh, mudah menyerah sebelum bertanding, dan banyak lagi perilaku inferior lainnya yang dapat merugikan diri sendiri untuk meraih prestasi dan berkompetisi.

Sebaliknya, seseorang yang memiliki konsep diri positif akan terlihat lebih optimistis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai keterpurukan, namun lebih dijadikan sebagai pengalaman dan pelajaran berharga untuk lebih maju.

Konsep diri terbentuk sejak individu mengenal lingkungan. Lingkungan yang pertama dan utama dalam membentuk konsep diri adalah orang tua/keluarga. Perkataan, perlakuan, sikap, serta pola asuh orang tua dijadikan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, atau lingkungan yang tidak kondusif, memungkinkan memiliki konsep diri yang negatif.

Suatu konsekuensi logis, di sekolah akan ditemukan berbagai karakteristik pribadi siswa, ada yang cenderung positif dan negatif. Maka, diperlukan sosok guru yang penuh kearifan sebagai implementasi dari kompetensi kepribadian guru, untuk menyelaraskan konsep diri siswa yang cenderung negatif, salah satunya melalui kegiatan pembelajaran.

Mengembangkan konsep diri di bidang akademis, bisa dengan cara menghargai kemampuan, kebaikan, dan kelebihan siswa sekecil apa pun. Dengan cara mengapresiasi keberadaannya dapat melatih sikap perilaku asertif siswa, sehingga diharapkan akan tumbuh rasa percaya diri yang positif dan mendorong mewujudkan potensinya secara optimal.

Mengenali potensi siswa, mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, disikapi secara bijaksana oleh sekolah dengan cara memberikan peluang waktu dan tempat untuk dapat bermakna dalam kehidupan siswa. Sebaliknya, kekeliruan, kesalahan selama proses pembelajaran acapkali berakibat rusaknya konsep diri anak dan tidak mustahil akan memengaruhi perilakunya.

Banyak kejadian memilukan yang dialami siswa, seperti kasus bunuh diri dan mogok sekolah. Jika dikaji, hal itu erat kaitannya dengan konsep dirinya yang keliru. Karena tidak ada penanganan yang tepat, hal itu menyebabkannya mengalami depresi berkepanjangan. Jangan-jangan perilaku siswa di luar sekolah yang meresahkan masyarakat, seperti geng motor, tawuran, dan penyalahgunaan narkoba berawal dari terbentuknya konsep diri yang negatif, sehingga memungkinkan berperilaku negatif pula.

Menyadari akan hakikat dan peranannya, konsep diri siswa perlu dikembangkan ke arah positif dan diwaspadai jangan sampai terbentuk pola pikir negatif, yang dapat menghambat perkembangan kepribadiannya. Konsep diri bersifat dinamis. Oleh karena itu, memungkinkan untuk berubah, seiring dengan situasi dan kondisi yang memengaruhinya. Diharapkan dengan mengembangkan konsep diri siswa, dapat mengantarkannya menjadi generasi yang unggul, memiliki kepribadian tangguh sehingga dapat memperbaiki krisis multidimensi di negara ini. Amin.

Penulis, guru SMA Negeri 24 Bandung.

gravatar

Membangun Keterampilan Literasi Informasi

Oleh DEDEN RAHMAT hidayAT

Membangun Indonesia ke depan diperlukan pribadi-pribadi mandiri. Keberadaan mereka yang mampu membangun solusi berdasarkan inisiatif sendiri akan sangat signifikan mengatasi berbagai masalah yang kompleks.

Kemandirian harus dibentuk agar negara kita mampu bangun dari keterpurukan. Kita harus mulai belajar bagaimana kita sebagai bangsa bisa berdiri di atas kaki sendiri, bukan menyandarkan kehidupan kita pada orang lain, terlebih kepada pihak yang kemungkinan akan memperdaya kita.

Untuk itu, dunia pendidikan harus tampil paling depan. Kegiatan pengajaran yang hanya mengedepankan transfer pengetahuan sekiranya mulai dievaluasi sebab anak cenderung menunggu "diajarkan", bukan belajar mandiri. Terlebih, anak tidak akan selamanya sekolah, sedangkan proses pencarian ilmu tidak boleh berhenti.

Salah satu adalah mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mencari informasi. Sejumlah media berikut bisa dioptimalkan untuk merangsang keterampilan anak dalam mencari informasi.

Gambar. Istilah "gambar bisa berbicara" menunjukkan bahwa bentuk, komposisi, dan warna bisa membantu membentuk frame literasi anak. Pajanglah gambar-gambar yang dapat membantu anak memetakan pengetahuan. Gambar yang bagus dengan warna yang menarik bisa menjadi gerbang untuk mengetahui sesuatu.

Buku rujukan. Sediakan ensiklopedia, almanak, atlas, dan buku-buku referensi lainya di tempat yang mudah dijangkau anak. Simpanlah kamus di dekat tempat menonton televisi, dengan harapan anak bisa mencari makna kata sulit atau asing dari film atau iklan. Karpet dengan gambar peta dunia bisa menjadi alat yang efektif untuk menjadikan anak akrab dengan pemetaan geografis. Arahkan juga anak-anak agar mulai mencari suatu jawaban dari buku-buku rujukan ini.

Koran dan majalah. Berlangganan majalah atau koran secara psikologis dapat membangun keterampilan literasi informasi anak. Munculnya media ini di setiap hari, dapat membentuk pola pikir anak bahwa informasi dihasilkan tiada henti. Yang lebih penting lagi adalah ketika anak melihat orang tua atau gurunya banyak membaca. Secara perlahan, anak akan mengikuti kebiasaan tersebut.

Perpustakaan. Kesan membosankan tempat ini harus diubah. Penataan rak buku dan ruang yang tidak biasa seperti istana, hutan, atau negeri penyihir bisa membangun ketertarikan dan daya imajinasi anak. Sistem klasifikasi Dewey dapat dijadikan alat untuk kode pencarian "harta karun" buku agar anak merasa lebih betah di tampat ini. Pembiasaan tersebut perlu dilakukan agar anak menjadikan perpustakaan sebagai sudut favorit mereka.

Hari belanja buku. Membeli buku bisa menjadi sebuah kegairahan. Banyak buku baru bermunculan tiap hari dengan tampilan dan isi yang sangat menarik. Jika dana berlebih, biarkan anak memilih dan mengambil buku yang mereka inginkan dengan pengawasan tertentu. Hal ini dapat membiasakan anak untuk memprioritaskan uang mereka untuk hal yang sangat bermanfaat.

Penggunaan informasi praktis. Libatkan anak pada kegiatan penggunaan informasi praktis secara menyenangkan. Misalnya, ketika berbelanja, berilah anak kesempatan memegang daftar belanjaan yang harus mereka cari. Atau, ajak anak membaca petunjuk penggunaan atau penyajian suatu produk. Mereka juga bisa belajar mengisi formulir dan mengikuti rambu-rambu lalu lintas.

Internet. Berikan anak kesempatan mengakses internet. Perkenalkan cara mencari informasi melalui search engine, mengikuti hyperlink, mengirim dan menerima e-mail, atau bahkan chatting dan membaca koran online. Arahkan anak untuk mengunduh (download) situs sesuai dengan umur dan kebutuhan mereka.

Dengan pengenalan keterampilan literasi informasi, anak akan menjadi pembelajar yang mandiri. Di kemudian hari, mereka diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin yang mampu membangun masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. ***

Penulis, guru bahasa Inggris di Pribadi Advanced School, Bandung.