gravatar

Pendidikan Dalam Perspektif Sejarah

Oleh RANI DAMAYANTI, S.Pd.

Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasulullah, bangsa Arab merupakan bangsa jahiliyah (bodoh). Pendidikan yang diajarkan Rasul kemudian menjadikan mereka sebagai bangsa yang menakjubkan.

Pada fase jahiliyah, bangsa Arab memang kehilangan nilai-nilai istimewa yang lekat dengan tradisi mereka dan merupakan poin unggulan. Akan tetapi, siapa sangka, berkat tarbiyah yang dilakukan Muhammad saw., bangsa yang tinggal di padang pasir nan terbelakang ini kemudian mampu keluar sebagai bangsa dengan peradaban besar. Dengan cepat, bangsa Arab tumbuh menjadi imperium yang luar biasa dimulai dari Asia Barat ke seluruh daerah Lautan Tengah, sampai Persia, Mesir, Afrika, bahkan daratan Eropa.

Bangsa Eropa juga tercatat dalam sejarah pernah mengalami satu fase yang disebut dengan dark age atau zaman kegelapan. Orang Eropa dari akhir abad ke-15 sampai akhir abad ke-18, menganggap abad pertengahan sebagai zaman kegelapan. Hingga akhir abad pertengahan, pendidikan hanyalah milik sebagian orang. Sebagian besar dari golongan bangsawan dan penduduk kota tidak dapat membaca dan menulis. Pengajaran boleh dikatakan hanya diberikan di dalam sekolah biara atau sekolah gereja, terutama kepada mereka yang kelak menjadi pendeta. Pengetahuan mendapat nasib yang serupa, yaitu hanya diselenggarakan di dalam biara.

Sementara itu, bangsa Indonesia pernah terbelenggu oleh penderitaan panjang akibat penjajahan yang meniadakan identitas dirinya sebagai sebuah bangsa dengan segala kebesaran dan kehormatan. Bangsa Indonesia pernah menjadi inlander di hadapan Belanda, menjadi budak di tanah air sendiri. Kemegahan dan keagungannya sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan luhur, runtuh oleh kecong-kakan imperialisme.

Van Deventer dalam tulisannya tahun 1899 Een Eereschuld/Debt of Honour mengemukakan, Belanda harus berterima kasih kepada bangsa Indonesia karena kemakmu-ran mereka diperoleh dari jasa dan kerja keras bangsa Indonesia. Maka dari itu, lahirlah apa yang disebut dengan politik etis. Irigation, transmigration, dan education merupakan trilogi atau trias politik etis. Akan tetapi, sudah tentu pelaksanaan politik etis ini tidak lepas dari kepentingan kolonial.

Lihat saja, pendidikan yang diselenggarakan hanyalah pendidikan tingkat rendah yang bertujuan untuk keuntungan kolonial Belanda sendiri, yaitu memenuhi kebutuhan pegawai rendahan, mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang bisa membaca dengan upah rendah daripada tenaga-tenaga kulit putih. Memang dibuka pula sekolah-sekolah menengah sampai sekolah tinggi, tetapi biayanya mahal sehingga rakyat dari kalangan jelata tidak mungkin memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut. Lagi pula pembukaan sekolah-sekolah ini didasarkan pada kebutuhan pemerintah kolonial, bukan pribumi.

Sebetulnya, pemerintah kolonial Belanda juga memiliki misi khusus dengan membuka sekolah-sekolah bagi pribumi. Melalui pendidikan ini, pemerintah kolonial berharap dapat menyukseskan program westernisasi, terutama di kalangan para priayi atau keluarga bangsawan.

Dengan bahasa lain, bangsa Indonesia hendak dieropakan, atau tepatnya dibelandakan. Akan tetapi, rencana tinggal rencana. Hasilnya menunjukkan hal lain, yaitu kesempatan pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial, meskipun sedikit, mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadi titik balik kesadaran bangsa ini. Benih-benih kesadaran terhadap harga diri bangsa mulai bangkit. Pendidikan pada masa itu menjadi api bagi bangkitnya kesadaran berbangsa, dan terwujud dalam semangat perjuangan membawa Indonesia pada puncaknya, yaitu kemerdekaan.***

Penulis, pengajar di SMP Negeri 6 dan Yayasan Daarul Huda, Kota Banjar.