gravatar

Profesionalisme Guru Menuju Sertifikasi

Oleh Ade Sofyandi, S.Pd.

SALAH satu alternatif yang paling strategis dalam memecahkan masalah pendidikan bangsa adalah membangun landasan pendidikan yang kokoh dan terkontrol, yaitu pembangunan profesionalisme pendidik (Suherdi, 2007).

Pembangunan profesionalisme pendidik telah menjadi perhatian pemerintah, di antaranya dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional.

Salah satu syarat guru sebagai pendidik profesional adalah memiliki kualifikasi akademik dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Hal tersebut erat kaitannya dengan sertifikasi guru sebagai salah satu upaya peningkatan mutu guru dan dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Untuk mencapai kualifikasi akademik yang dipersyaratkan di dalam sertifikasi, para guru termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S-1 di sela-sela kesibukannya mengajar meskipun dengan biaya sendiri.

Ketika keran sertifikasi guru dibuka, mulailah para guru mengumpulkan dan melengkapi beberapa persyaratan administratif untuk portofolio. Sambil menyusun portofolio, dalam benak terbayang, gaji yang sangat besar dan pemanfaatannya sudah terperinci. Bahkan, ada salah seorang guru akan membuat "kamar khusus" dan brankas untuk menyimpan gaji dari sertifikasi guru yang tidak akan diganggu dalam beberapa tahun sebagai dana abadi. Itulah kira-kira yang dilakukan para guru ketika sertifikasi guru dibuka.

Pada saat pengumpulan bukti fisik, kendala mulai terasa karena tidak semua kegiatan memiliki surat keterangan atau piagam dan tanda penghargaan. Selain itu, dokumen yang sudah ada pun tidak lengkap karena kurang baik dalam hal pendokumentasian dan kearsipan sehingga ketika harus melengkapi persyaratan menjadi kelabakan. Akhirnya surat-surat keterangan "serbadadakan".

Kendala yang paling besar yaitu karya tulis ilmiah. Kemampuan untuk pengembangan profesi seperti pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya menjadi hambatan terbesar dan merupakan masalah tersendiri. Hal tersebut dialami juga pada sistem penetapan angka kredit. Salah satu buktinya adalah menumpuknya golongan IV/a yang akan naik ke IV/b.

Meskipun ada berbagai kendala, tetapi portofolio berhasil dikumpulkan. Hasilnya pun seperti telah diperkirakan sebelumnya, ternyata yang lolos sertifikasi tidak terlalu banyak. Yang lolos tersebut tentunya adalah guru-guru yang memiliki produktivitas serta profesionalisme yang tinggi sehingga bagi mereka tidak akan sulit untuk memperoleh skor minimal 850, bahkan lebih.

Tentunya para guru yang lolos sertifikasi tersebut tidak lepas dari jasa-jasa dan perjuangan para guru yang sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan kebetulan belum memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, diharapkan ada kebijakan lain, tetapi tetap menunjung aspek profesionalisme.

Sementara bagi guru-guru yang masih relatif muda, didorong untuk dapat mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan produktivitasnya. Selain itu, perlu diberi kesempatan yang sama kepada setiap guru untuk mengembangkan karier dan keahliannya.

Dengan demikian, sertifikasi profesi guru bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil diraih, tetapi sesuatu yang mesti diraih. Sertifikasi adalah bukan hak yang mesti setiap orang dapat menerima dan meraihnya, tetapi merupakan penghargaan bagi para guru yang telah mengabdi bagi dunia pendidikan dengan penuh tanggung jawab sebagai seorang profesional.***

Penulis, guru SDN Karamatwangi II, Kec. Cisurupan Kabupaten Garut, pemenang IV lomba menulis yang diselenggarakan AGP-PGRI Jawa Barat 2007/2008.