gravatar

Profesionalisme Guru, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh Dra. WAHYULI, M.Pd.

BELAJAR akan lebih bermakna dan tersimpan lama dalam ingatan kalau semua yang dipelajari segera dipraktikkan.

Ada sepenggal makna cerita yang saya kutip ketika mengikuti workshop pendidikan setahun yang lalu. Cerita ini berawal dari didikan seorang guru yang berwirausaha buku-buku dan alat-alat pelajaran yang dipaksakan kepada peserta didiknya demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Karena guru yang mengajarinya, peserta didik meniru dan mempraktikkan apa yang dilakukan gurunya di sekolah. Alhasil, peserta didik ini menjadi oknum yang terbiasa keluar-masuk penjara karena berwirausaha barang-barang terlarang demi memenuhi keperluan sekolah yang semakin mahal. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah?

Cerita ini bisa menjadi cermin dan gambaran kalau pendidikan ini belum berhasil. Masalah pendidikan harus ditunjang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti sarana gedung, buku-buku yang berkualitas, guru pengajar, dan tenaga kependidikan yang profesional. Kalau buku yang berkualitas mahal harganya dan menciptakan tambahan tenaga kependidikan yang profesional memerlukan biaya yang tidak sedikit, apakah cukup peningkatan kualitas pendidikan hanya dengan sarana gedung yang bagus? Sarana gedung pun sudah pasti membutuhkan biaya yang juga tidak kalah sedikit. Lantas apa yang mesti didahulukan? Titik akhirnya hanyalah pada masalah, uang.

Cerita di atas pun pokok permasalahannya juga uang. Karena uang kemudian menghalalkan segala cara. Wajar kalau pendidikan di Indonesia tertinggal, jauh dari harapan dan kebutuhan. Padahal, pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Uang pun bukan menjadi masalah yang utama.

Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk menghasilkan masyarakat yang cerdas? Jawabannya sederhana, ini tak lepas dari kualitas guru.

Saat ini kita sudah memiliki banyak guru, bahkan banyak guru lulusan lembaga pendidikan yang belum mendapat pekerjaan, dan tidak sedikit guru yang diperbantukan belum mendapat pengangkatan pegawai. Nah, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, perlu dilakukan uji kompetensi guru. Hal ini akan terealisasi dengan baik kalau para petugas yang diamanatkannya mendapat pendidikan yang baik.

Melalui uji kompetensi, diharapkan dapat terjaring guru-guru yang kompeten, kreatif, profesional, dan menyenangkan sehingga mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya. Dengan uji kompetensi yang digunakan sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional, tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, atau alasan subjektif lain, yang bermuara pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Kalau uji kompetensi ini digunakan secara profesional dalam penerimaan guru baru, akan sangat membantu meningkatkan kualitas pendidikan karena akan terjaring guru-guru yang kompeten dan siap melaksanakan tugasnya secara kreatif, profesional, dan menyenangkan.***

Penulis, pengajar SMA Negeri 1 Kota Bogor bidang studi fisika, pemenang V lomba menulis yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis (AGP) PGRI Provinsi Jawa Barat 2007/2008.